PARADOKS GIZI GRATIS: Saat Negara ‘Menyuapi’ Racun di Tanah Minang

Penulis Nofri Madola
03 October 2025

Dalam lanskap kebijakan publik, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai sebuah deklarasi ambisius: menanamkan pondasi kesehatan dan kecerdasan bagi generasi penerus bangsa. Secara teoretis, ini adalah visi yang memukau; sebuah investasi strategis pada modal manusia, menjanjikan peningkatan gizi, penurunan angka stunting, dan akselerasi potensi kognitif anak-anak Indonesia. Ini adalah janji untuk membangun masa depan yang lebih cerah, satu piring makanan bergizi pada satu waktu.

Namun, ironi pahit menyelimuti narasi mulia ini. Di tengah gemuruh harapan akan masa depan yang lebih baik, kita dihadapkan pada realitas yang mencabik-cabik: laporan demi laporan tentang insiden keracunan makanan yang menimpa justru mereka yang seharusnya diuntungkan. Bagaimana mungkin sebuah program yang dirancang untuk menyehatkan justru menjadi ancaman bagi kesejahteraan anak-anak kita? Ini bukan sekadar kecelakaan sporadis; ini adalah disonansi kognitif yang mengusik, sebuah paradoks kebijakan yang menuntut pertanggungjawaban mendalam.

Fenomena keracunan massal ini bukan hanya masalah logistik atau kelalaian teknis semata. Ini adalah cerminan dari potensi kegagalan sistemik dalam rantai pasok, pengawasan kualitas, dan integritas implementasi. Ketika anak-anak, yang seharusnya menjadi penerima manfaat paling rentan dan dilindungi, justru jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan dari program negara, kita dihadapkan pada pertanyaan fundamental: Apakah standar keamanan pangan kita cukup robust? Apakah mekanisme pengawasan kita cukup tajam untuk mendeteksi anomali sebelum menjadi malapetaka? Dan yang terpenting, di mana letak akuntabilitas ketika janji perlindungan berubah menjadi ancaman?

Sebagai seorang pemuda yang tumbuh di ranah Minangkabau, saya mengamati dengan saksama geliat implementasi MBG di berbagai kabupaten/kota di Sumatera Barat. Semangat untuk merealisasikan program ini patut diapresiasi, namun percepatan implementasi tidak boleh mengorbankan prinsip kehati-hatian dan pengawasan ketat. Kita tidak ingin semangat “Sakato Mambangun Nagari” justru menjadi bumerang bagi generasi penerus.

Tragisnya, kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Peristiwa keracunan yang menimpa anak-anak Rabu, 1 oktober 2025 di Lubuk Basung, Kabupaten Agam Sumatera Barat, adalah tamparan keras bagi kita semua. Kejadian ini adalah pengingat pahit bahwa niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan sistem yang solid, pengawasan berlapis, dan komitmen tanpa kompromi terhadap keamanan pangan untuk memastikan bahwa setiap hidangan yang disajikan benar-benar aman dan bergizi.

Program MBG, dengan segala potensinya, tidak boleh menjadi sekadar etalase kebijakan tanpa substansi. Setiap insiden keracunan adalah alarm yang berdering nyaring, bukan hanya tentang kualitas makanan, tetapi juga tentang kualitas tata kelola. Ini adalah imperatif bagi pemerintah untuk tidak hanya mengevaluasi, tetapi juga merekonstruksi ulang seluruh arsitektur program ini. Mulai dari pemilihan vendor, standarisasi bahan baku, proses pengolahan yang higienis, hingga sistem distribusi yang aman dan termonitor secara ketat. Di Sumatera Barat, dengan kearifan lokal dan semangat gotong royong yang kental, kita memiliki modal sosial yang kuat untuk memastikan keberhasilan program ini. Namun, modal sosial ini harus diimbangi dengan sistem pengawasan yang ketat dan transparansi yang akuntabel.

Kita tidak bisa membiarkan visi besar ini tercoreng oleh eksekusi yang cacat. Anak-anak Indonesia, khususnya di ranah Minang, berhak mendapatkan yang terbaik, bukan risiko. Program Makan Bergizi Gratis harus menjadi mercusuar harapan, bukan sumber kekhawatiran. Hanya dengan transparansi penuh, audit independen, dan penegakan akuntabilitas yang tanpa kompromi, kita dapat mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa setiap piring makanan yang disajikan benar-benar bergizi, aman, dan menjadi investasi nyata bagi masa depan bangsa. Kegagalan untuk bertindak tegas dan cepat dalam mengatasi masalah ini adalah kegagalan untuk melindungi generasi yang akan datang.

Bagikan