Ketika Komisaris dan Direksi BUMN Mendapatkan Privilege dengan Gaji Luar Biasa: Di Manakah Keadilan di Negeri Ini

Penulis Ardinal Bandaro Putiah
19 August 2025

Paradoks Keadilan di Negeri Bernama Republik

Indonesia berdiri dengan janji luhur yakni menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji itu bukan sekadar semboyan, melainkan amanah konstitusi yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Namun, di tengah gegap gempita demokrasi dan kemajuan ekonomi, kita menyaksikan paradoks yang mencolok dimana sebagian besar rakyat harus berjuang mati-matian untuk sekadar bertahan hidup, sementara segelintir elite menikmati privilege dengan gaji luar biasa besar.

Fenomena ini paling nyata terlihat dalam struktur kepemimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN sejatinya diciptakan sebagai instrumen negara untuk menyejahterakan rakyat. Tetapi, kursi komisaris dan direksi BUMN berubah menjadi ruang eksklusif bagi elite politik dan kroninya, lengkap dengan gaji miliaran, tunjangan berlapis, dan fasilitas mewah.

Pertanyaan fundamental pun lahir, apakah ini wujud keadilan sosial yang dijanjikan? Ataukah ini justru pengkhianatan terhadap cita-cita pendiri bangsa?

*BUMN, Dari Alat Kesejahteraan Menjadi Lumbung Privilege*

BUMN didirikan dengan misi menjaga sektor strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Filosofinya jelas, dimana listrik, minyak, transportasi, perbankan, dan komunikasi tak boleh sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, sebab negara wajib hadir.

Namun, seiring perjalanan politik bangsa, BUMN menjelma menjadi lumbung kekuasaan. Kursi komisaris dan direksi tidak lagi semata-mata diisi oleh profesional berintegritas, melainkan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa. Dari relawan politik hingga figur partai, dari pejabat purnabakti hingga kerabat elite, banyak yang mendapat kursi nyaman di dewan komisaris atau direksi.

Di sinilah persoalan bermula, BUMN yang seharusnya dikelola dengan prinsip amanah publik, berubah menjadi arena distribusi rente. Privilege yang lahir dari kursi itu bukan saja merugikan negara secara finansial, tetapi juga melukai rasa keadilan sosial.

Data Terkini, Fantastisnya Gaji Komisaris dan Direksi

Agar kritik tidak sekadar retorika, mari kita lihat data terbaru mengenai gaji komisaris dan direksi BUMN.

Menurut IDN Times (Maret 2025), gaji komisaris utama di beberapa BUMN besar mencapai angka fantastis:

Pertamina: Rp 8,8 miliar/bulan

Bank Mandiri: Rp 2,5 miliar/bulan

Telkom Indonesia: Rp 1,6 miliar/bulan

BRI: Rp 1,8 miliar/bulan

BNI: Rp 942 juta/bulan

Antam: Rp 314 juta/bulan

Pelindo: Rp 726 juta/bulan

BTN: Rp 597 juta/bulan

KAI: Rp 324 juta/bulan

Mind ID: Rp 125 juta/bulan

Detik Finance mencatat regulasi formal, honorarium komisaris utama ditetapkan sebesar 45% dari gaji direktur utama, sementara komisaris lain menerima 90% dari komisaris utama.

Di luar gaji pokok, mereka juga menerima berbagai tunjangan: THR, tunjangan transportasi (20% gaji), asuransi purna tugas (25% gaji tahunan), fasilitas kesehatan bagi keluarga, bantuan hukum, tantiem, dan insentif jangka panjang.

Bandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) rata-rata 2025 yang berada di kisaran Rp 3 juta–Rp 4,8 juta per bulan. Artinya, seorang komisaris BUMN bisa menerima gaji sebulan yang setara dengan upah buruh selama ratusan tahun.

Kontras ini bukan hanya soal angka, melainkan soal keadilan: mengapa lembaga milik rakyat justru melahirkan ketimpangan yang begitu mencolok?

Ketimpangan yang Terstruktur

Dalam teori ekonomi politik, privilege adalah sumber utama ketidakadilan. Ketika akses ke jabatan dan sumber daya ditentukan oleh kedekatan dengan kekuasaan, lahirlah kelas elite birokrasi-ekonomi yang hidup di atas penderitaan rakyat.

Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas. Sejak era Orde Baru, BUMN sudah menjadi arena pembagian rente. Reformasi 1998 diharapkan memutus rantai itu, tetapi kenyataannya praktiknya semakin mengakar. BUMN tetap dijadikan “kue” politik, rugi ditanggung negara, untung dinikmati elite.

Lebih tragis lagi, sebagian BUMN yang memberikan gaji besar kepada direksi dan komisarisnya justru masih bergantung pada penyertaan modal negara (PMN), alias uang rakyat. Maka logika yang terbentuk adalah rakyat menanggung kerugian, tetapi elite tetap panen privilege.

Perspektif Ideologis: Islam dan Pancasila

Islam: Prinsip Keadilan

Islam menempatkan keadilan (‘adl) sebagai asas utama dalam kehidupan sosial. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90).

Dalam pandangan Islam, keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberi hak pada yang berhak, serta menolak kezhaliman. Maka, ketika seorang komisaris BUMN memperoleh miliaran rupiah hanya untuk menghadiri rapat bulanan, sementara jutaan rakyat kesulitan membayar biaya sekolah anak, di situlah kezaliman struktural terjadi.

Pancasila: Keadilan Sosial

Sila kelima Pancasila menegaskan, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kata kuncinya adalah “seluruh”, bukan “sebagian”. Privilege luar biasa yang hanya dinikmati segelintir elite jelas bertentangan dengan amanat ini.

Pancasila bukan hanya simbol, tetapi harus menjadi pedoman dalam kebijakan. Jika BUMN dibiarkan menjadi lumbung rente, maka Pancasila telah dicederai oleh bangsa yang mengaku menjadikannya dasar negara.

Kapitalisme Negara, Oligarki di Balik BUMN

Fenomena privilege komisaris dan direksi BUMN sesungguhnya adalah bagian dari kapitalisme negara (state capitalism). Negara menggunakan instrumen BUMN bukan hanya untuk mengelola sektor vital, tetapi juga sebagai sarana memperkaya elite.

Model ini bekerja dengan pola dimana keuntungan BUMN diprivatisasi (dinikmati elite melalui bonus, tantiem, dan tunjangan), sementara kerugiannya disosialisasi (ditanggung APBN alias uang rakyat).

Inilah sebab mengapa publik sering merasa BUMN tidak benar-benar bekerja untuk rakyat. Dari BBM, listrik, hingga transportasi publik, rakyat tetap membayar harga tinggi. Tetapi di sisi lain, elite pengelola BUMN tetap bergelimang privilege, apapun kinerja perusahaan.

Dampak Sosial, Luka Kolektif Bangsa

Privilege luar biasa ini bukan sekadar soal angka, tetapi juga soal psikologi sosial. Rakyat kecil melihat elite hidup mewah dengan gaji miliaran, sementara mereka sendiri bergulat dengan kebutuhan pokok.

Konsekuensinya ada dua:
1. Frustrasi sosial. Ketimpangan menciptakan rasa putus asa dan hilangnya kepercayaan pada negara.
2. Normalisasi ketidakadilan. Ketika ketimpangan dianggap wajar, masyarakat akan kehilangan sensitivitas moral. Inilah yang lebih berbahaya: sebuah bangsa yang terbiasa dengan ketidakadilan pada akhirnya akan membiarkannya menjadi norma.

Jalan Reformasi, Mengembalikan BUMN kepada Rakyat

Kritik tanpa solusi adalah keluhan. Maka, kita perlu langkah konkret:

1. Reformasi Tata Kelola.
Seleksi komisaris dan direksi harus berbasis meritokrasi, bukan balas jasa politik. Prosesnya transparan, melibatkan lembaga independen, dan terbuka untuk publik.

2. Batasan Gaji.
Negara harus menetapkan batas gaji maksimal yang proporsional dengan kondisi rakyat. Tidak pantas seorang pejabat BUMN bergaji miliaran ketika jutaan rakyat hidup miskin.

3. Akuntabilitas Publik.
Laporan gaji, tunjangan, dan bonus direksi/komisaris harus dibuka ke publik setiap tahun. Transparansi adalah kunci.

4. Reorientasi Mandat BUMN.
BUMN harus kembali kepada misi utama: menyediakan layanan publik dengan harga adil, bukan sekadar mengejar profit.

5. Etika Ideologis.
Pejabat BUMN harus ditanamkan pendidikan moral dan ideologis: jabatan adalah amanah, bukan privilege.

Menagih Janji Keadilan

Fenomena gaji fantastis komisaris dan direksi BUMN adalah cermin buram keadilan di negeri ini. Ia menunjukkan betapa cita-cita konstitusi dan Pancasila masih jauh dari kenyataan.

Ketika seorang komisaris menerima gaji Rp 8,8 miliar sebulan, sementara jutaan rakyat hanya mampu hidup dengan Rp 3 juta sebulan, maka jelas bahwa keadilan sosial masih sebatas retorika.

BUMN adalah milik rakyat, bukan milik elite. Selama rakyat masih menderita, tidak ada satu pun alasan moral dan ideologis bagi komisaris dan direksi BUMN untuk hidup dalam kemewahan berlebihan.

Keadilan tidak datang dari langit; ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu dimulai dari keberanian untuk meruntuhkan tembok privilege di tubuh BUMN.

Wallahu’alam
Tanjung Duren, 18 Agustus 2025

Ardinal Bandaro Putiah
Ketua III PB Pemuda Muslimin Indonesia

Bagikan