MASHUDUL HAQ (PEMBELA KEBENARAN)

Penulis
15 July 2025

Mengenang Salah Satu Orang Hebat di Indonesia

Mungkin banyak orang sudah melupakan pahlawan nasional asal Sumatra Barat ini. Dari Koto Gadang, Agam, lahir pada 8 Oktober 1884, dialah Haji Agus Salim—tokoh besar, jenius, dan pejuang tanpa pamrih. Namanya tercatat dalam sejarah sebagai seorang diplomat ulung, intelektual, jurnalis, dan negarawan yang hidup dalam kesederhanaan hingga akhir hayatnya.

Buya Hamka, sesama tokoh besar dari Ranah Minang, bahkan menyebutnya: “Haji Agus Salim itu setara dengan sejuta manusia.” Sebuah pujian yang tak berlebihan jika menilik jejak hidupnya yang sarat pengorbanan demi tegaknya martabat bangsa.

Didikan Eropa, Jiwa Merdeka

Pendidikan dasar Agus Salim ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS)—sekolah elite bagi anak-anak Eropa. Ia melanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia dan lulus sebagai siswa terbaik se-Hindia Belanda. Di usia belia, ia sudah menguasai banyak bahasa asing: Belanda, Arab, Inggris, Jerman, hingga Perancis. Namun, alih-alih mengejar kenyamanan hidup sebagai pegawai pemerintah, ia memilih jalan sunyi perjuangan.

Diplomat Cerdas, Humor Tajam

Menjadi Menteri Luar Negeri di era Presiden Soekarno, Agus Salim dikenal sebagai diplomat tangguh yang membuat Belanda dan pihak asing kewalahan berdebat. Ia bukan hanya cerdas, tetapi juga jenaka. Suatu ketika, saat ditanya wartawan asing tentang kesannya terhadap wanita Amerika, ia menjawab:

“Rok-roknya memang bagus sekali, tetapi menurut pendapat saya, betis-betis di bawah rok itu malah lebih bagus.”

Sontak semua tertawa. Di balik leluconnya, tersimpan kecerdasan dan kemampuan mencairkan suasana diplomatik yang tegang.

Agus Salim dan Api Nasionalisme

Ketika Indonesia merdeka dan ancaman Belanda kembali datang, seorang wartawan asing bertanya kepada Agus Salim:

“Bagaimana jika Belanda meminta Indonesia dikembalikan kepada mereka?”

Agus Salim menjawab lantang:

“Daripada menyerahkannya kembali kepada Belanda, lebih baik saya bakar Indonesia ini!”

Sebuah jawaban yang menggambarkan semangat membara untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Mashudul Haq dalam Kemelaratan

Julukannya Mashudul Haq—pembela kebenaran—bukan tanpa alasan. Sejak ia keluar dari kantor BOW (Departemen Pekerjaan Umum zaman Belanda) pada 1912, hidupnya diliputi kemiskinan. Tahun-tahun setelah itu ia jalani sebagai partikelir—pekerja lepas yang mengandalkan pena dan suara hati. Tak jarang ia kesulitan memberi makan keluarganya.

Namun ia tetap teguh. Dalam sebuah surat, ia menulis:

“Aku lebih memilih lapar bersama kebenaran, daripada kenyang di atas kebohongan.”

Prinsip itulah yang membuatnya tak pernah tergoda jabatan atau kekayaan. Padahal, seandainya mau, ia bisa saja hidup mewah di bawah perlindungan Belanda atau Jepang. Tapi ia memilih jalan suci, jalan perjuangan.

Refleksi dan Penghormatan

Agus Salim adalah gambaran sempurna dari perpaduan antara kecerdasan, iman, dan keberanian. Ia bukan hanya milik Minangkabau, ia milik seluruh Indonesia. Bersama Buya Hamka, Tan Malaka, Rahmah El Yunusiyah, dan sederet tokoh Minang lainnya, ia mewariskan jejak pemikiran dan karakter luhur.

Mengutip Tan Malaka:

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda.”

Haji Agus Salim bukan hanya pemuda dengan idealisme, tetapi juga tua dengan konsistensi. Ia membuktikan bahwa membela kebenaran tidak selalu membawa kemakmuran, namun selalu meninggalkan kehormatan.

Dan pesan terakhirnya yang mengguncang:

“Daripada Indonesia jatuh ke tangan asing, lebih baik kubakar negeri ini sampai habis!”

Itulah nasionalisme sejati. Bukan jargon. Bukan pencitraan. Tapi pengorbanan.

Debat di Meja Api: Agus Salim dan Belanda

Hotel des Indes, Jakarta. 1947.

Asap rokok mengepul seperti kabut tipis di ruangan berdekor Eropa itu. Meja bundar besar, taplaknya putih. Kopi Belanda di sisi kiri. Teh panas tanpa gula di sisi kanan. Di antara mereka, peta Hindia Belanda terbentang, warnanya pudar tapi keserakahannya masih terang.

Di satu sisi meja: Van Mook, wakil kerajaan Belanda, dengan setelan jas lengkap dan mata sipit penuh curiga. Di sisi lain: Haji Agus Salim, tua, kurus, berkacamata bulat, bersarung dan berbaju koko putih yang mulai lusuh, namun auranya lebih menggelegar dari mimbar perang.

“Tuan Salim,” Van Mook memulai, senyumnya tipis. “Belanda ingin menjaga stabilitas. Indonesia belum siap berdiri sendiri. Kami hanya menawarkan proteksi, bukan penjajahan. Demi rakyat Anda.”

Agus Salim tak menjawab seketika. Ia mengangkat cangkir teh, meniupnya pelan, lalu menatap lurus mata lawannya.

“Tuan Van Mook… apakah Anda tahu perasaan seekor burung yang dibebaskan dari sangkar, lalu ditawari sangkar emas kembali, dengan alasan dunia luar terlalu berbahaya?”

Van Mook menyipit. “Kami hanya realistis. Ekonomi Anda hancur, militer Anda lemah. Anda membutuhkan bantuan.”

Agus Salim tersenyum. Tapi bukan senyum lega. Senyum getir. Ia lalu berdiri, tubuh ringkihnya menantang sejarah.

“Kalau soal militer, kami memang kalah. Kalau soal ekonomi, kami keok. Tapi ada satu hal yang kami miliki, yang kalian tidak punya sejak 300 tahun lalu…”

“Apa itu?” tanya Van Mook.

“Harga diri.”

Hening. Hanya suara kipas tua yang menderu dari sudut ruangan. Beberapa diplomat asing saling pandang, tak menyangka pria tua bersarung itu bisa membuat Eropa tersedak oleh satu kalimat.

Van Mook kembali duduk. Ia lalu berkata dengan nada diplomatis, tapi menusuk:

“Kami tidak akan segan mengirim pasukan tambahan. Jika Indonesia tidak mau bekerja sama, akan ada banyak darah tumpah.”

Agus Salim tak marah. Ia malah tertawa kecil, lalu berkata:

“Tuan Van Mook… Belanda tak perlu repot-repot. Jika kalian ingin tanah ini, kalian harus melawan bukan hanya tentara kami, tapi semua jiwa yang sudah mati karena dijajah. Mereka masih hidup di dada kami.”

Ia menunjuk dadanya dengan jari gemetar. Tapi nada suaranya membakar dingin ruang rapat.

“Dan katakan pada Ratu kalian… daripada kami serahkan Indonesia kembali ke tangan Belanda, lebih baik kami bakar negeri ini sampai menjadi abu.”

Para jurnalis yang mengintip dari balik pintu tak sempat menulis semua. Tapi kalimat itu jadi bara. Disalin dari mulut ke mulut. Dari hati ke hati. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Van Mook—diplomat kepercayaan kerajaan—pulang ke penginapan tanpa menatap mata siapa pun.

Sedangkan Agus Salim? Ia pulang ke rumah kecilnya, membuka sajadah, dan kembali menjadi hamba yang hina… di hadapan Tuhan yang Mahabesar.

Bagikan